BOMBANA – Dunia konstruksi di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, tengah menghadapi ujian berat. Menjelang penutupan tahun anggaran 2025, banyak proyek infrastruktur yang bersumber dari APBD Bombana belum juga rampung. Penyebab utamanya bukan semata keterlambatan kerja, melainkan karena kelangkaan material bangunan seperti batu, timbunan, dan pasir.
Material lokal sulit diperoleh karena tidak adanya tambang batu resmi yang beroperasi di wilayah Bombana. Kalaupun ada pasokan dari luar daerah, harganya melambung tinggi hingga melebihi pagu anggaran proyek. Kondisi ini membuat kontraktor pelaksana di lapangan kelimpungan.
“Kami dihadapkan pada situasi yang serba salah. Kalau tidak ada pasokan material, pekerjaan pasti macet. Tapi kalau ambil dari lokasi yang belum berizin, dibilang ilegal,” ujar Asrin Sarewo, Ketua Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia (Aspekindo)
Asrin menjelaskan, sejauh ini hanya ada satu perusahaan tambang batu yang memiliki izin resmi di Bombana, yakni PT Bombana Maju Makmur (BMM).
Namun izin BMM hanya untuk kebutuhan internal Jhonlin Group, bukan untuk dijual ke publik. Artinya, permintaan material dari kontraktor lokal dan masyarakat umum tidak bisa dipenuhi.
“Kalaupun BMM diizinkan menjual keluar, mereka tidak akan mampu memenuhi kebutuhan batu untuk semua pihak,” jelas Asrin.
Akibatnya, sebagian pekerja proyek dan warga terpaksa mengambil batu dari lokasi yang belum berizin agar pekerjaan bisa tetap berjalan. Kondisi inilah yang memicu kegaduhan di Bombana, karena aktivitas tambang batu ilegal mulai dipersoalkan oleh sejumlah pihak.
Asrin menegaskan, larangan total terhadap pengambilan material dari lokasi nonresmi justru akan **melumpuhkan pembangunan daerah.
“Kalau dilarang semua, saya bisa pastikan tidak ada satu pun proyek di Bombana yang jalan. Waktu tinggal dua bulan. Semua kontrak bisa gagal,” katanya.
Beberapa kontraktor bahkan sudah mencoba mengambil material dari tambang batu resmi di Tinanggea dan Moramo (Konawe Selatan).
Namun, biaya transportasi tinggi membuat harga batu melonjak hingga Rp1,3 juta per ret, sementara harga pagu proyek Pemda Bombana hanya sekitar Rp800 ribu per ret.
“Kalau tetap dipaksakan, kontraktor pasti rugi. Tidak ada yang sanggup, dan akhirnya pembangunan mandek. Itu artinya, PAD juga hilang,” terang Asrin.
Ketua Aspekindo Bombana itu mengaku tidak menutup mata soal aktivitas tambang ilegal. Namun, ia berharap semua pihak — terutama Forkopimda dan aparat penegak hukum — bisa bersikap bijaksana menjelang akhir tahun anggaran.
“Kami bukan membenarkan yang ilegal. Tapi ini soal realitas di lapangan. Kami hanya minta kebijaksanaan agar pekerjaan yang sudah berkontrak bisa selesai dulu. Kalau nanti tahun 2026 mau diperketat, kami siap ikuti,” tutupnya.
Menurut Asrin, persoalan tambang batu di Bombana harus segera diselesaikan secara sistemik. Pemerintah daerah perlu mendorong percepatan izin tambang resmi agar pembangunan dan kepatuhan hukum bisa berjalan seimbang.
Penulis: Tim Redaksi