OPINI
Salah satu alasan kenapa pengawas pemilu dibentuk, karenapotensi kecurangan masih sangat tinggi. Dulu, di masa ordebaru, kecurangan itu dipelopori penguasa menggunakan hampirseluruh alat Negara. Rakyat disatroni supaya hanya memilihpartai tertentu, hasil pemilu dimanipulasi, penggelembungansuara massif terjadi.
Pasca lengsernya orde baru, gelombang reformasi mendesakpemerintahan baru membuka selebar-lebarnya keran demokrasiyang sekian lama terkekang. System pemilu dirobah, rakyatdiberi kebebasan mendirikan partai politik. Kalau di masa ordebaru hanya boleh tiga partai, arus reformasi membebaskanrakyat mendirikan partai politik baru, bila memang tidak sejalandengan tiga partai politik yang sudah ada sejak lama. Rakyat dibebaskan memilih partai apa saja, meski begitu, semangatreformasi dan system pemilu kala itu belum cukupmenghilangkan sekaligus kecurangan pemilu. Penggelembungansuara masih banyak terjadi.
Seiring berjalannya waktu, system pemilu terus dievaluasi, semua celah kecurangan ditutup. Tidak ada lagi rekapitulasi di tingkat Panitia Pemungutan Suara atau di tingkat Kelurahan / Desa. Sehingga pada pemilu-pemilu berikutnya, kasuspenggelembungan hampir tidak ada lagi. Jikapun sampai terjadi, sangat gampang ketahuan dan pelakunya tidak sulitdiidentifikasi dan bisa langsung diproses untuk dijatuhi sanksi.Ada DKPP sebagai penjaga etik penyelenggara pemilu dansentra gakkumdu untuk menangani tindak pidana pemilu.Regulasi telah pula menyediakan ruang bagi peserta pemiluuntuk melakukan sengketa hasil di Mahkama Konstitusisekiranya yakin disertai bukti telah terjadi penggelembungansuara hasil pemilu.
Namun demikian, kecurangan itu rupanya memiliki banyaknyawa, dia tidak pernah benar-benar mati. Walaupun celahnyasudah ditutupi regulasi. Momen pemilu selalu memberinya rohbaru untuk muncul dalam wujud berbeda. Gaya orde baru sudahtidak berlaku, kecuranganpun berganti baju. Dulu penguasaadalah raja, bisa menekan, sekarang gaya seperti itu perlahanditinggalkan. Sekarang zamannya uang berkuasa, politik uangmerajalela di setiap momen pemilihan. Mulai dari pemilihanumum, pemilihan kepala daerah sampai pada pemilihan kepaladesa. Hampir semuanya diwarnai praktik politik uang. Tidaksedikit oknum peserta yang siap mebayar berapa saja suarapemilih, walaupun belum pasti dirinya yang akan dipilih.Celakanya praktik politik uang ini meskipun bukan rahasia lagi, namun wujudnya bagaikan kentut, baunya menyengat, semuakalangan meyakini ada, hanya saja pelakunya sangat sulitdipergoki.
Berbagai seruan dan himbauan “STOP POLITIK UANG” sudahdilakukan, sosialisasi dan edukasi dari Bawaslu gencardiadakan, pesan dan argumentasi bahwa politik uang mencederaidemokrasi, melanggar keadilan pemilu, penyebab politikberbiaya tinggi serta memicu maraknya korupsi. Itupun rupanyabelum cukup untuk meminimalisir maraknya politik uang.
Pasca Pemilu 2019, tidak sedikit kalangan pemerhati demokrasiyang mengkritik kinerja Bawaslu sebagai penjaga marwahpemilu. Bawaslu dianggap gagal mencegah maraknya politikuang serta gagal menindak para pelaku politik uang. Tiap kali pemilu usai digelar, berbagai wacana dan argumentasiberkembang sebagai bentuk evaluasi terkait politik uang. Ada yang berpandangan salah satu penyebab politik uang terus sajamarak, karena sangat sedikit pelaku yang ditindak. Bukankahpenindakan adalah bagian dari pencegahan itu sendiri.
Publik sangat berharap, Bawaslu tidak sekedar gencarmelakukan pencegahan, public juga sangat berharap Bawasluproaktif melakukan penindakan. Penindakan dianggap lebihefektif meminimalisir politik uang, karena bisa memberi efekjera dan membuat orang berfikir melakukan. Hanya yang jadipersoalan, untuk memergoki pelaku politik uang bukan perkaramudah, sementara public tidak punya keberanian melaporkanperistiwa yang disaksikan, meskipun sudah diberi pemahamanbahkan sampai diiming-imingi imbalan sekalipun. Tetap sajatidak ada yang berani.
Dalam beraksi, pelaku politik uang tentu selalu waspada danmenghindari sejauh-jauhnya pengawas pemilu. Apalagi dalambertugas, pengawas pemilu selalu memakai atribut sehinggamudah dikenali. Ada yang menyarankan agar Bawaslu merekrutmata-mata atau intelegen sebagaimana di lembaga Polri danKejaksaan. Petugas resmi, tapi menyamar seolah masyarakatbiasa. Tapi bukankah mata-mata juga harus digaji ? Mana adaorang yang mau sukarela melakukan pekerjaan beresiko sepertiitu tanpa imbalan
Maka menurut saya, jalan yang paling mungkin untuk dicobaadalah mengupgrade fungsi pengawas kelurahan / desa darisekedar informan menjadi intelegen atau mata-mata. Dalambekerja tidak perlu memakai atribut. Karena jika personilpengawas mudah dikenal, orang yang berencana melakukanpolitik uang tentu leluasa menghindarinya. Pengawas Kelurahan/ Desa justru akan jauh lebih efektif menjadi informan kalautidak banyak orang yang kenali. Bahkan tidak apa-apamelakukan penyamaran jika itu dibutuhkan.
Oleh : Zainul Muluk, SS
Penulis adalah Komisioner Bawaslu Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara.