Aktivitas perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara semakin tidak terbendung, hampir seluruhnya diduga tidak memiliki legalitas yang jelas, akibat aktivitas yang kian masif ini juga membuat alam konawe utara kian rusak.
Ketua EXplor Anoa Oheo, Ashari menyoroti kurangnya perhatian serius dari semua aparat baik di tingkat daerah maupun pusat. Ashari menduga karena adanya kepentingan membuat aktivitas pertambangan di sultra terkhusus di Konawe Utara kian tidak tersentuh.
“Sarat akan antara kebijakan dan kepentingan satu sama lain yang patut di curigai tentang bagaimana keterlibatan jajaran penegak hukum ” Berselingkuh ” di balik kepentingan pengusaha atau pemodal besar yang hasil profitnya di pakai sekedar kesenangan dunia saja,” bebernya.
Menurutnya, hampir semua perusahaan tambang di wilayah bumi Oheo Konawe Utara tak satupun legal standing nya mulus seratus persen yang artinya semua punya celah dan cerita yang sama. Ironisnya perusahaan-perusahaan tambang yang diduga tidak memiliki legal standing yang jelas malah diawasi oleh personel berseragam dengan bersenjata lengkap.
“Kuatnya indikasi pertambangan ilegal baik yang terus disuarakan dari berbagai lembaga kemasyarakatan melalui demonstrasi maupun pemberitaan di media massa semuanya hanya sekedar angin lalu. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mau atau tidak para penegak hukum membuktikan semua ini, ditengah banyaknya aparat penegak hukum sendiri yang terlibat. Nuansa politis dan kepentingan gajah-gajah inilah sulit untuk dibongkar,” jelasnya.
Ashari mencontohkan kasus yang melibatkan dua perusahaan PT. Bososi Pratama dengan PT. Roshini Indonesia dinilainya sangat tendensius dalam proses hukumnya. Padahal menurutnya di Konawe Utara sudah ada institusi polres yang kadang tidak dilibatkan hingga tiba-tiba saja sudah terpasang garis police line. Sementara perusahaan lain yang pelanggarannya sama tidak tersentuh sedikitpun bahkan masih bebas beroperasi.
“Kok yang lain tidak tersentuh ? Lalu tambang yang lain bebas beroperasi padahal pelanggaran nya sama bahkan ada yang lebih parah,” timpanya.
Kasus pertambangan bukan sekedar ilegal mining semata, namun realitas di balik teka teki itu berakhir dekriminalisasi. Bukan itu saja, ironis berimbas kepada pengusaha lokal asli daerah menjadi suatu pengalihan, target dari skenario kolaborasi oligarki Tambang.
“Jika supremasi hukum benar-benar mau di tegakkan kami siap sebagai jarum kompas mengawal penindakan oknum tambang ilegal tentunya dengan dasar asas keterbukaan, keadilan serta kepastian hukum. Dengan demikian dipastikan tak satupun tambang di konut yang akan beroperasi,” tegas Ashari.
Namun persoalan yang mendasar juga perlu diingat bahwa ekonomi kerakyatan cukup membantu pemerintah dari profit sektor pertambangan terutama kontribusi riil dari pihak pengusaha lokal itu sendiri yang paham kondisi daerah nya serta tinggal bersama di lingkungan keluarga dan masyarakat itu sendiri.
Tidak hanya itu pada bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya pengusaha lokal juga ikut berperan aktif bahkan dalam situasi bencana alam tidak hanya sekedar materi, juga turun langsung memberikan bimbingan psikologis terhadap keluarga yang terdampak.
“Olehnya itu penegak hukum layaknya lebih selektif memberikan pembinaan hukum kepada pengusaha lokal yang jika kekurangannya dalam melaksanakan pengelolaan tambang masih jauh dengan kaidah-kaidah sesuai yang diamanatkan undang-undang,” harapnya.